Selasa, 05 Oktober 2010

WACANA MULTIKULTURALISME ANAK DOGIYAI I.Wacana Multikulturalisme ANAK DOGIYAI yang saat ini berkembang berkaitan erat dengan penolakan terhadap hegemoni atau penyeragaman Budaya. Hegemoni ditolak karena menyebabkan adanya satu budaya tertentu yang berlaku secara universal. Hegemoni terjadi manakala ada satu kelompok tertentu mendesakkan sistem nilai dan pandangan dunia (weltanschauung) berlaku di ranah public (public domain) dan ranah privat (private domain). Yang terjadi kemudian adalah terbungkamnya dan terabaikannya budaya lokal atau minoritas. Ranah publik yang mestinya berwatak plural karena watak masyarakat juga plural akhirnya juga terancam. Sedangkan penyeragaman budaya yang dibawah, baik oleh Negara maupun oleh pasar (budaya massa) juga ditampik karena memberangus daya hidup dan kekhasan budaya-budaya yang ada di sekitar kita. Pada saat ini di Negara manapun di dunia hanya ada dua strategi kebijakan pemerintah untuk mencapai integrasi nasional: 1) penghapusan sifat-sifat kulturil utama dari komuniti-komuniti minoritas yang berbeda menjadi semacam kebudayaan “nasional”, biasanya kebudayaan dari kelompok budaya yang dominan, suatu kebijakan yang biasanya disebut (seperti Amerikanisasi, Burmanisasi, Jawanisasi, Islamisasi dll); 2) penciptaan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaan-kebudayaan kecil, yaitu disebut kebijaksanaan “unity in diversity” bhineka tunggal ika, yang secara politis ditandai dengan penjumlaan etnis (ethnic arithmetic). Dalam perakteknya tentu saja jarang mengikuti salah satu aspek saja, namun biasanya sering menggunakan secara bersamaan atau pun kadang kala mencampuradukannya.Dalam konteks penelitian ini yang berkaitan dengan Hegemoni Budaya Penduduk Transmigran yang membawa budaya Daerah Asal (JAMBAL) terhadap budaya Masyarakat Lokal (penduduk daerah penempatan) menjadi problem utama dalam pembinaan multikultur di masyarakat transmigrasi. (Transmigran itu siapa? Dan masyarakat lokal itu siapa?)Lantas apa saja aspek2 hegemoni budaya Negara dan budaya masyarakat yang perlu diperhatikan dalam konteks multikultural di kawasan transmigrasi; 1) Bagaimana Mendesign kawasan transmigrasi dan wilayah hunian masyarakat lokal sebagai kawasan yang terintegrated : baik UPT, LPT Maupun WPT sebagai satu kesatuan kawasan; 2) Bagaimana membentuk bangsa / rakyat yang bersatu diatas kebinekaan; antara masyarakat local dan masyarakat transmigran 3) bagiamana memperkaya bahasa lokal disamping bahasa Indonesia sebagai linggua franca; 4) bagaimana menumbuhkembangkan ideologi atau pandangan hidup antara masyarakat local dan transmigran; 5) Bagaimana mengembangkan budaya dan kesenian yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan transmigran tanpa melalui akulturasi, asimilasi dan inkulturasi. 6) bagaimana menghargai kepercayaan agama2 kosmik dan soteriologi meta kosmik (abrahamic religions) diantara pemeluk agama baik transmigran maupun masyarakat local. 6) bagaimana memberi penghargaan ditengah perbedaan secara etno biologis (ras).Oleh karena itu maka dalam penelitian ini bila ingin melihat model pembinaan multikultur untuk masyarakat transmigrasi maka aspek2 atau variable pokok dalam masyarakat multikultur seperti: Wilayah, Rakyat, Bahasa, Pandangan Hidup, Budaya, Kesenian, Agama dan Etnik atau Ras perlu dijadikan patokan dalam kajian ini. Selah melihat atau memotret dimensi2 tersebut diatas maka selanjutnya adalah bagaimana membuat model atau design masyarakat multikultur melalui tiga hal: 1) Peraturan, 2) Sistem Sosial, 3) mengembangkan kebijakan dan program.II. Konsep2 yang dituliskan dalam tulisan ini belum mengemukakan suatu konsep yang dapat dijadikan pandangan utama yang tentunya dapat dikembangkan sebagai basis konsep untuk pembentukan pola multikultur atau melihat tipologi multikultur. Misalnya dalam suatu penelitian sosiologi bila kita ingin melihat komunitas masyarakat suatu wilayah maka ada masyarakat patembayan dan paguyuban atau (Gemeischaf dan geselschaf Ferdinand Tonies) atau bila kita mau melihat perilaku masyarakat Jawa maka para peneliti menggunakan teori utama dari Clifford G tentang Santri, Abangan dan Priyayi. Tidak terlihat keterkaitan konsep atau integrasi konsep antara konsepsi awal, konsep mengenai kultur, konsep mengenai multikultur, dan bagaimana kondisi multikultur di masyarakat transmigrasi. Memang pada tataran topic atau judul kelihatannya seperti ada kesinambungan atau keterkaitan tetapi ketika membaca isinya ternyata tidak terlihat runutan atau kontinuitas konsepsinya (maaf alias hambur adul). Karena itu secara substansial tidak terintegrasi. Sebelum masuk kebijakan pembinaan multikultur maka tentu perlu digambarkan terlebih dahulu mengenai dimensi-dimensi multikultur seperti; wilayah, rakyat/etnik, bahasa, budaya, kesenian, agama, pandangan hidup yang selama ini ada pada transmigran. Setelah itu baru mulai masuk dengan bagaimana kebijakannya misalnya bidang pembinaan bahasa, agama, design wilayah, budaya, kesenian, dll. Di Indonesia wacana multikulturalisme menjadi suatu agenda yang mendesak karena kita menyaksikan terjadinya ketegangan konflik atas dasar sentiment agama, ras dan etnis. Sehubungan dengan ini ada beberapa konflik yang terjadi antara masyarakat lokal dan transmigran seperti di kalimantan, sulawesi, maluku, aceh dan Papua perlu dilihat dalam penelitian ini sebagai entry point mengapa perlunya model pembinaan multikultrur di masyarakat transmigrasi? Dalam tulisan ini saya belum melihat suatu pembahasan yang mengeksplorasi konflik atas dasar sentimen SARA. Bahkan pada tataran kebijakan yang ditawarkan ini perlu ada program resolusi konflik etnis agar tidak terjadi peperangan antara semua melaawan semua sebagaimana konsep (Hobesian Problem of order) konsep hobes. Selama ini di Indonesia Pendidikan dan Penyiaran sebagai medium untuk menjalankan Program Kesadaran multikultur tampaknya tidak banyak berperan. Pendidikan di sekolah2 formal maupun nonformal, maupun pendidikan populer lewat media pada kenyataannya masih didominasi oleh wacana monokultur. Karena keragaman budaya di masyarakat jarang mendapatkan medium ekspresi mereka. Oleh karena itu konsep penyadaran melalui pendidikan dan penyiaran ini perlu dimasukan dalam kebijakan dan Program. Jadi istilah multukuturalisme sendiri pertama kali di gunakan oleh pemerintah kanada 1965 bertajuk preliminary report of the royal commision on bilingualisme and biculturisme Furnivall meletakkan landasan baru mengenai masyarakat multikultur atau masyarakat plural di Indonesia; yaitu kita lihat pada masyarakat masyarakat pedagang. Mereka berinteraksi antara satu sama yang lain meskipun mereka berbeda suku, agama, bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Itulah tipe masyarakat multikulture negara kita yang terbentuk secara alamia.Teori sosiologi klasik seperti terbentuknya masyarakat dengan kemauan alami (paguyuban) dan masyarakat riil (patembayan) (ferdinan Tonies, 1887), atau Durkheim tentang ”solidaritas organis” berdasarkan pembagian kerja dalam komunitas berskala kecil berdasarkan kekeluargaan. Karena bila berskala besar (solidaritas mekanis maka akan muncul yang namannya egoisme individu sehingga harus munculkan suatu kepemimpinan yang berdasarkan rasionalitas. (Weber). Dimasyarakat transmigrasi juga begitu harus membuat suatu kepemimpinan formal yang mampu menyatukan komunitas transmigran dan masyarakat local; dalam hal ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar